LATAR BELAKANG
Krisis ekonomi sedang melanda dunia, dunia usaha terguncang, semua perusahaan melakukan efisiensi yang mengakibatkan diberlakukan PHK pada tenaga-tenaga kerja yang dianggap kurang potensial. Jumlah pengangguran meningkat drastis, hal ini semakin diperparah dengan pertambahan jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan lapangan kerja yang tersedia.
Jumlah pengangguran terbuka di Indonesia per Agustus 2008 mencapai 9,39 juta jiwa (Harun Mahbub, 2009). Menurut hasil survei, pengangguran terbuka didominasi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan sebesar 17,26 persen, lulusan Sekolah Menengah Atas 14,31 persen, lulusan universitas 12,59 persen, diploma 11,21 persen, baru lulusan SMP 9,39 persen dan SD ke bawah 4,57 persen.
Pengangguran terdidik dari perguruan tinggi menduduki peringkat ke tiga, kondisi ini terjadi karena kemandirian dan semangat kewirausahaan sarjana Indonesia masih sangat rendah sehingga mereka terjebak mencari kerja meskipun lapangan kerja terbatas.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik, jumlah penganggur berpendidikan tinggi selama kurun 2004 -2007 mencapai 50 persen atau lebih jika dibandingkan pengangguran lulusan diploma I/II dan akademi/diploma III. Lebih dari 80 persen sarjana memilih bekerja sebagai buruh atau karyawan dan hanya sekitar enam persen yang bekerja sendiri (ELN, Kompas.com, 30 Oktober 2008).
Pendidikan entrepreneurship memang semakin perlu diajarkan untuk mahasiswa, dan yang tidak kalah penting bagaimana kita mendorong perguruan tinggi untuk bisa memiliki dan mengiplementasikan ide-ide untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
SD Darmono (Presdir PT Jababeka Tbk.) mengatakan, perusahaan di Indonesia memang menghadapi kendala mendapatkan tenaga kerja yang berpengalaman dan terampil. Daya tarik berinvestasi di Indonesia yang menyediakan tenaga kerja murah namun dinilai tidak terampil tidak lagi diminati investor. Pengetahuan dan keterampilan bisa dipelajari. Yang memprihatinkan, kebiasaan dan sikap para sarjana di dunia kerja tersebut dalam hal disiplin, tanggung jawab, jujur dan inovatif masih kurang memuaskan.
Sebuah majalah di Indonesia mengadakan polling tentang profesi terseksi yang diminati masyarakat (Binstudio.com, 19 Januari 2009). Arsitek mendapat kedudukan pada rangking ketiga. Rangking pertama diduduki oleh pemadam kebakaran, dengan alasan mengutamakan dan menyelamatkan manusia dalam sebuah musibah. Urutan kedua adalah: dokter. Profesi arsitek ini ternyata mengalahkan profesi lawyer dan polisi atau angkatan bersenjata. Hal yang sangat menarik, kita perlu introspeksi diri mengenai hal ini.
Profesi arsitek, saat ini memang sedang banyak disoroti oleh berbagai media massa (radio, TV, majalah, tabloid, koran) bahkan buku-buku tentang arsitektur dan interior banyak dijual dimana-mana. Dunia arsitektur dan interior mulai menggeliat lagi semenjak akhir tahun 2000. Banyak bangunan-bangunan dan interior menarik yang sudah berdiri, menjadi pusat perhatian wartawan bahkan para kritikus property dan bangunan. Adalah wajar apabila profesi arsitek mendapat rangking tersebut di atas.
Yang mengkhawatirkan pada saat ini adalah bahwa banyaknya lulusan sarjana arsitek tidak sebanding dengan tersedianya lapangan kerja di biro-biro konsultan bagi mereka. Sebagian dari mereka bekerja sesuai dengan bidangnya, sisanya akan bekerja di bidang lain seperti : Bank, periklanan, broker, designer grafis, designer produk, designer interior atau developer yang paling tidak masih bersinggungan dengan profesi terseksi ini; sedangkan beberapa diantaranya menjadi penggangguran intelek. Ini adalah permasalahan bangsa yang harus sesgera ditangani.
UPAYA PENERAPAN PENDIDIKAN PROFESSIONAL DAN WIRAUSAHA
PADA PERKULIAHAN DI PRODI ARSITEKTUR UNS
Empat pilar pendidikan menurut UNESCO yakni terdiri dari : Learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), learning to live together (belajar untuk hidup bersama) dan learning to do (belajar untuk melakukan). Pendidikan arsitektur sebagai salah satu cabang pendidikan keilmuan, harus menerapkan ke empat pilar tersebut dalam kurikulum silabus pembelajarannya (www.unesco.org).
Berbicara mengenai pendidikan arsitektur, tak luput dari membicarakan mengenai kampus sebagai produsen para sarjana arsitek, dan selanjutnya kurikulum silabus apa saja yang diberikan disana untuk menunjang mahasiswanya supaya siap untuk diterjunkan ke lapangan menjadi wirausaha atau tenaga kerja yang profesional dalam bidangnya.
Pemerintah RI menetapkan 7 bidang keprofesian (Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 036/U/1993 dan Nomor 056/U/1994), yaitu : Dokter, Dokter Gigi, Psikolog, Akuntan, Notaris, Insinyur dan Arsitek. Ditetapkan pula bahwa calon pelaku dalam bidang keprofesian tersebut memerlukan pendidikan tambahan sesuai dengan pendidikan tinggi S1 untuk memenuhi tuntutan keprofesiannya masing-masing.
Pendidikan tinggi untuk para arsitek pada awal pendirannya mempunyai misi untuk menghasilkan para arsitek profesional yang siap pakai dengan masa pendidikan 5 tahun, selain diberi pengetahuan tentang ilmu arsitektur para mahasiswanya juga diberi ketrampilan merancang melalui penugasan di studio, pembekalan pengalaman kerja melalui praktik kerja/magang, di akhir masa pendidikannya diuji melalui simulasi proyek nyata dan apabila lulus dinyatakan sebagai insinyur (Dewan Pendidikan Arsitektk IAI, 2007). Sekarang sudah berubah, masa pendidikan di Jurusan Arsitektur dipersingkat menjadi + 4 tahun, dengan jumlah sks yang lebih sedikit, dan apabila lulus disebut dengan Sarjana Teknik. Setelah perubahan ini terdapat keluhan dari pihak pengguna, yang menganggap bahwa sarjana arsitek yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi pada saat ini belum siap pakai.
Hal ini ditambah lagi timbul kesenjangan dengan organisasi arsitek sedunia Union Internationale des Architectes (UIA) bersama-sama dengan American Institutes of Architects (AIA) dan Architects’ Society of China (ASA) merekomendasikan bahwa :
• Pendidikan minimal bagi seorang calon arsitek profesional adalah 5 tahun, dilanjutkan dengan pemagangan sekurang-kurangnya 4 tahun.
• Pendidikan minimal bagi seorang calon arsitek profesional harus mencakup 37 butir pengetahuan, sedangkan pemagangannya harus menghasilkan 13 butir kemampuan.
IAI sebagai anggota UIA menerapkan rekomendasi tersebut di atas. 37 butir pengetahuan sampai saat ini masih terus sedang dicari kesepakatannya antara IAI dengan Perguruan Tinggi. Sedangkan 13 butir kemampuan oleh IAI dijadikan tolok ukur dalam penilaian karya para arsitek anggota IAI yang ingin memiliki sertifikat.
Detail dan sumber: musyawaroh.staff.uns.ac.id
0 Comments